Embun
pagi menetes dari dedaunan. Kabut mulai menipis seiring munculnya sinar
mentari. Zahra dengan perlahan membuka matanya, dilihatnya samar-samar sesosok
wanita cantik yang sedang berdiri di hadapannya bersama seorang lelaki di
sampingnya. Di samping tempat berbaringnya ada sesosok laki-laki yang memakai
jubah putih beserta masker yang ada di bawah dangunya. “Ra… ini mama.” ujar
wanita cantik itu dengan mata yang berbinar seraya menggenggam lembut tangan
Zahra. “Sayang… papa disini.” ujar lelaki di samping wanita itu sambil mengelus
halus rambut Zahra. “Mama… Papa…” mereka betiga pun berpelukan dengan
hangatnya, dan suasana pun menjadi sangat haru saat itu.
Seminggu setelah kejadian yang
mengaharukan itu, Zahra sudah dibolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya
sudah semakin baik. Mereka pun sangat gembira mendengarnya walaupun, masih ada
kesedihan terbesit di dalam hati mereka.
Zahra hanya terdiam membisu setiba
di rumahnya itu. Hari-hari dilewatinya dengan wajah yang murung. Dia sering
sekali menatap keluar jendela kamarnya dan memandangi mawar putih yang ada di
halaman rumahnya. Keluarganya pun berusaha menghiburnya, tetapi sekilas ia
tersenyum dan kemudian termenung lagi. Pipinya basah karena air yang terus
mengalir dari matanya.
Hari ini, Zahra bersama mamanya
pergi menuju sekolah Zahra. Sekolah yang amat ia rindukan. “Zahra… kami kangen
banget sama kamu”, ujar Asyifa teman sebangkunya. “ Aku juga…”, Zahra tak dapat
membendung air matanya lagi yang sedari tadi ia tahan. Sejak insiden itu, Zahra sudah lama tidak sekolah karena
kondisinya yang tidak memungkinkan. Tetapi saat ia sedang melepas rindu dengan
teman-temannya, ia harus pamit karena ia akan meninggalkan sekolah ini. Zahra
memberi pelukan hangat kepada teman-temannya. Setelah pamit ia bersama mamanya
pergi ke TU mengurusi rapor dan berkas-berkas lainnya untuk sekolah barunya
nanti.
***
Ini hari pertama Zahra di sekolah
barunya. Pagi itu udara sangat sejuk di kota Bandung. Zahra pun tiba di sekolah
bersama mamanya. Zahra memasuki ruang kelas bersama Bu Sindy. “Assalammualaikum,
selamat pagi, perkenalkan nama saya Zahra Khoirotun Hisan. Saya pindahan dari
Yogyakarta. Salam kenal”, ujar Zahra yang berdiri di depan kelas yang sangat
asing baginya. Zahra adalah gadis berkerudung, parasnya elok nan cantik,
hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya sipit berwarna kecoklatan, dan
kulitnya pun putih, persis orang Arab. “Oke Zahra silahkan duduk di tempat yang
kosong”, ibu guru pun mempersilahkan Zahra duduk, kemudian memulai
pelajarannya.
Entah mengapa anak-anak di kelas itu sangat
mengasingkan Zahra. Saat istirahat tak ada seorang pun yang mengajaknya
berbicara. Namun hal itu bisa dihadapi Zahra, sejak kajadian itu dia hanya diam
menyendiri di kamarnya. Zahra ingat tadi pagi ia melihat ada taman sekolah yang
di tanami banyak bunga. Zahra pun berniat untuk pergi kesana, dan segera beranjak
dari kelas yang asing itu. Sekolah baru Zahra ini memang elite, lapangannya
luas, gedungnya berlantai 5, ada sebuah gereja, serta ada mushola yang sangat
indah dengan kubahnya berwana biru. Di samping masjid itu ada taman sekolah yang
sangat indah. Di situlah Zahra sekarang berada. Ia menikmati suasana taman itu
dan memandangi bunga kesukaannya, yaitu mawar putih. Banyak sekali kenangan
yang terbesit di mawar putih itu. Ia kembali teringat dengan seseorang yang
sangat ia sayangi.
Saat ia terdiam di bangku taman,
Zahra menyadari ada depasang mata yang memperhatikannya. “Hey siapa disitu?”, teriak
Zahra sambil clingak-clinguk. Dan kemudian orang itu muncul. Zahra pun kaget ketika
orang itu tiba-tiba berada tepat di
samping bangku yang di dudukinya. Sesosok laki-laki dengan postur badan yang
tinggi dan mata teduhnya, hidung mancungnya,
juga rambut yang agak sedikit keriting dan sedikit acak-acakan. “Hey siapa
kamu?”, tanya Zahra dengan suaranya lembutnya. “Kamu ngapain disini sendirian?”,
cowok itu membalasnya dengan pertanyaan juga. “Hmm… aku cuma ingin melihat
bunga-bunga disini”, jawab Zahra. “Kamu anak baru ya? Aku baru lihat kamu”,
tanya cowok itu sambil duduk di sebelah Zahra. “Iya, aku anak baru disini”.
“Oya kenalin aku Alfianus Sandehang, panggil aja aku Fian. Aku kelas 12”, ujar
cowok itu sambil tersenyum seraya menyodorkan tangannya. “Zahra Khoirotun Hisan
kelas 10”, Zahra pun membalas senyum itu dan menjabat tangan Fian. Fian menatap
mata Zahra, ia merasa mata itu tidak asing baginya. Mata itu mengingatkannya
pada seseorang yang sangat ia rindukan. “Oh, namanya indah ya kaya…. orangnya”,
ujar Fian sambil memandangi Zahra. “Makasih kak”, Zahra pun tersenyum, senyuman
manis yang muncul kembali setelah lama menghilang.
Saat mereka sedang asyik mengobrol, bel
sekolah pun berbunyi. Percakapan mereka pun terhenti. “Masuk kelas yuk kak”,
Zahra tersenyum dengan bahagia dan mengajak Fian beranjak dari taman itu.
Mereka pun berjalan menuju kelas mereka. Dan terpisah di Lab Kimia karena kelas
mereka berlawanan arah. “Sampai ketemu lagi ya Ra…”, ujar Fian. Terlihat ada
lesung di kedua pipi Fian. Zahra terpaku melihatnya. Fian mirip sekali dengan
seseorang yang sangat Zahra rindukan itu.
***
Sudah
hampir sebulan Zahra bersekolah disitu, hubungannya makin akrab dengan Fian.
Zahra juga menceritakan semua tentang Fian kepada mamanya. Mamanya sangat
senang karena anaknya bisa ceria seperti dulu. Fian adalah kapten basket di
sekolahnya. Fian juga mahir bermain musik, terutama piano. “Fian, kita mau
kemana sih?”, Fian menarik lengan Zahra. “Sudah Ra, kamu ikut aja ya jangan
cerewet!”, ujar Fian sambil berjalan menuju suatu tempat yang sudah ia
rencanakan. Akhirnya mereka pun sampai di sebuah tempat. Ternyata tempat itu adalah
ruang kesenian yang ada di sekolahnya. Disitu ada sebuah piano, Fian membuka
dan memainkan piano yang sudah menjadi sahabatnya
itu. Jemarinya menari-nari di atas tuts-tuts piano. Fian menyanyikan lagu “Leaving on the jet plane”. Suara Fian
begitu merdu, Zahra merasa nyaman berada di dekat Fian. Zahra pun ikut
bernyanyi. Betapa romantisnya saat itu.
“Ra… semenjak hadirnya kamu disini
aku merasa bahagia banget. Kamu itu kayak bidadari yang ngilangin rasa sepi aku
selama ini. Dan mata kamu itu ngingetin aku sama adik aku Angel, yang sangat
aku sayangi. Kalau dia masih ada, mungkin dia sama besar dan cantik sepertimu”,
ujar Fian dengan mata yang berbinar-binar. Adiknya Angel, sudah meninggal
karena penyakit livernya satu tahun yang lalu. Saat kepergiannya Fian tidak
berada di samping Angel. Saat itu Fian masih berada di dalam pesawat, dan
setibanya di Rumah Sakit, Angel sudah pergi untuk selamanya. Memang sebelum meninggal
Angel mendonorkan kornea matanya, hal itu tidak di ketahui oleh Fian.
“Aku…juga ngerasa begitu Fi. Kamu
dateng secara tiba-tiba dan ngembaliin ceriaku seperti dulu. Aku sangat
berterimakasih sama kamu”, ujar Zahra. Tanpa disadari air mata Zahra mengalir.
“Kok kamu nangis Ra? Kenapa?”, Fian kaget dan langsung mengusap air mata Zahra
dengan lembut. Kamu itu persis kakak aku
yang sangat aku sayangi… tawamu, senyummu, lesung pipi kamu.Batin Zahra.
***
Pagi
ini Zahra datang lebih pagi. Ia panik mencari-cari barang yang sangat berharga
baginya. “Kamu kenapa Ra… kok kayak orang kebakaran jenggot gitu?”, tiba-tiba
Fian muncul di hadapannya. “Aduh Fian kamu bikin kaget aja sih! Oya, kamu liat
gelang aku gak?”, tanya Zahra yang masih kalang kabut mencari gelangnya itu.
“Maksud kamu ini?”, Fian memperlihatkan gelang yang di temukannya. Gelang
dengan rantai silver dan ada bandul mawar putih di sekelilingnya. “Iya ini Fi…
kok bisa ada di kamu?”, Zahra pun senang dan langsung mengambil gelang itu. “Kemarin
aku temuin di bangku piano itu”. Saat di ruang kesenian kemarin, Zahra tak
menyadari gelangnya terjatuh. Gelang itu berharga sekali bagi Zahra. Gelang itu
adalah pemberian dari kakaknya.
Sore ini seperti biasa Zahra menunggu Pak
Marno sopirnya. Sudah lama ia menunggu di Lobby sekolah tetapi Pak Marno tak
kunjung datang. Tiba-tiba handphone Zahra berbunyi, dengan segera ia
mengangkatnya. “Ra… mama sama Pak Marno kejebak macet. Kamu gapapa ya pulang
sendiri naik taksi. Love you sayang. Assalammualaikum”. “Okay ma… love you too.
Waalaikumsalam”, jawab Zahra dan kemudian berjalan menuju gerbang sekolah.
Setiba di gerbang sekolah ia bertemu
dengan Fian. “Hai Ra… kamu gak di jemput? Mau aku antar?”, ujar Fian sambil
membuka helm yang warnanya senada dengan motor tiger putihnya. Zahra hanya
terdiam, insiden itu kembali terlintas di pikirannya. Zahra berlari
meninggalkan Fian begitu saja dan masuk kedalam taksi. Fian kaget melihat Zahra
yang tanpa sebab meninggalkannya begitu saja.
***
“Ra…
bangun, ada yang nyariin kamu tuh di bawah”, mama membangunkan Zahra yang masih
tertidur. “Ha? Siapa ma? Kok pagi-pagi begini!”, Zahra terbangun dari tempat
tidurnya. Ia langsung mencuci muka dan memakai kerudungnya. Betapa kagetnya
Zahra ketika ia melihat Alfian ada di ruang tamunya. Zahra takut bila Fian ke
rumahnya dan bertemu dengan papanya. Tetapi untungnya papa Zahra sedang keluar
kota karena ada urusan pekerjaan. “Fian… kok kamu bisa tau rumah aku?”, tanya
Zahra seraya duduk di sofa yang berwarna putih gading di ruang tamunya.
“Kemarin aku ngikutin kamu dari belakang Ra… Kenapa sih kamu ninggalin aku
tiba-tiba?”, tanya Fian. “Oh itu, aku…”, Zahra kebingungan ingin menjawab apa.
Suasana pun hening. “Yaudah gapapa kalau kamu gak mau jawab. Kita jalan-jalan
yuk!”, ujar Fian dengan suara lembutnya. “Mau kemana Fi?”. “Sudah, ganti baju
dulu sana! Aku tunggu”. “Yaudah sebentar ya”, ujar Zahra.
Sudah 20 menit Fian menunggu.
Akhirnya Zahra pun muncul dengan baju terusan selutut berwarna putih kecokelatan
dan celana jeans. Juga kerudung yang senada dengan bajunya. Zahra keliatan
cantik memakainya. Setelah itu mereka berpamitan dengan mama Zahra.
“Fian, kita naik apa?”, tanya Zahra.
“Naik motor aku lah”. “Hah?”, Zahra kaget mendengarnya. “Kenapa? Kamu takut?”,
tanya Fian dengan suara lembutnya. “Aku… Aku trauma naik motor Fi…”, ujar Zahra
dengan raut wajah yang ketakutan. “Jangan takut Ra, kan ada aku. Nanti aku
pelan-pelan kok naik motornya”, ujar Fian menenangkan Zahra. “Tapi Fi….”, Zahra
masih saja trauma dan teringat akan insiden itu. “Nanti aku ajak kamu ke suatu
tempat yang indah deh. Percaya aku Fi….”, ujar Fian dengan menatap Zahra dan
tersenyum manis. Zahra pun terdiam melihat senyuman Fian itu. Akhirnya Zahra
mau melawan traumanya itu. “Pelan-pelan ya Fi…”, Zahra memegang erat baju Fian.
Akhirnya mereka sampai di suatu
tempat. “Sekarang buka mata kamu”, Fian melepaskan tangannya dari mata Zahra.
Suasana di tempat itu sangat sejuk dan tenang. Tempat itu di penuhi dengan
bunga kesukaan Zahra, ya mawar putih. “Fi, kok kamu tau aku suka mawar putih?”,
Zahra heran. “Aku udah tau semuanya ko Ra. Tentang insiden kecelakaan yang buat
kamu sering berubah-ubah sikap. Mama kamu yang cerita sama aku. Kenapa kamu ga
mau cerita sama aku?”, ujar Fian. “Maafin aku ya Fi... aku belum berani cerita
ke siapa-siapa”.
Setahun yang lalu, Zahra bersama
kakaknya Rangga sedang naik motor dari membeli kado untuk mamanya. Saat ingin
menyalip sebuah truk, tidak disangka dari arah berlawanan ada sebuah mobil yang
sedang melaju kencang. Kecelakaan pun tidak bisa dihindari, kepala Rangga
membentur aspal. Dan mata Zahra terkena serepihan kaca. Mereka langsung di
larikan ke Rumah Sakit. Rangga meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Sementara
Zahra masih terselamatkan. Dan ketika tersadar, Zahra tidak bisa melihat
apa-apa. Semuanya gelap gulita. Dan ia lebih terpuruk lagi ketika mendengar
kakak yang sangat ia sayangi meninggal. Zahra juga tidak bisa ikut di hari
pemakaman Rangga. Dua bulan kemudian ada seseorang yang mendonorkan kornea matanya
kepada Zahra. Ternyata pendonor itu adalah adik Fian.
***
Mereka
pun pulang setelah puas menikmati surga bunga. Saat mereka sedang asyik
mengobrol di ruang tamu, terdengar suara klakson mobil. Zahra kaget, ternyata
itu papanya. “Om, sudah pulang?”, Fian meyodorkan tangannya. Ayah Zahra melirik
kalung salip milik Fian, dia hanya mengabaikan salam Fian itu dan berlalu
meninggalkannya. Seketika suasana menjadi hening.
Setelah Fian pulang ayah Zahra
sangat marah kepada Zahra. Ayah Zahra tidak suka bila Zahra dekat dengan Alfian.
Karena mereka berbeda agama. Zahra terus menangis di pelukan ibunya. Tetapi
ayah Zahra sangat keras dan tidak bisa dibantah.
Semenjak kejadian itu Zahra jatuh
sakit. Asma akutnya kambuh dan ia harus di rawat di Rumah Sakit. Zahra hanya
bisa terbaring lemas di tempat tidurnya. Tiba-tiba ada yang mengiriminya sebuah
kado dan rangkaian bungan mawar putih. Isi kado itu adalah sebuah boneka
beruang kecil putih. Dan ada sebuah surat yang berisi :
“Dear
Zahra. Ra… cepet sembuh ya. Saat kamu membaca surat ini pasti aku sudah ada di
pesawat. Ayahku memintaku untuk menemaninya di Australia. Jadi, aku juga akan
kuliah di sana. Sebenarnya aku ingin sekali menemui kamu Ra. Tapi pasti papa
kamu marah. Maaf ya Ra… I’ll miss you Ra. Someday I’ll be back for you. From
Alfianus Sandehang.”
Air mata Zahra terjatuh setelah
membaca surat dari Fian. Sepi kembali menyapa hari-hari Zahra. Zahra kembali
menjadi anak yang pemurung dan suka menyendiri lagi. Kemana pun ia pergi,
boneka beruang putih itu tak pernah lepas dari tangannya. Setiap malam ia
selalu memandangi foto dirinya bersama Fian. Ia selalu teringat saat-saat indah
bersama Fian dahulu.
***
Dua
tahun telah berlalu. Zahra masih berharap agar Fian datang menemuinya,
menghapus air matanya dan menemani hari-harinya lagi. Dan hari ini Zahra
berniat pergi ke taman bunga tempat Fian
dahulu mengajaknya. Zahra terdiam di tempat duduk mereka dahulu. Zahra
termenung memandangi bunga-bunga mawar yang ada di sekelilingnnya. Tiba-tiba ia
mendengar suara yang sangat ia kenali.
“So
kiss me and smile for me. Tell me that you’ll wait for me. Hold me like you
never let me go…”
Fian datang membawa mawar putih dan
bernyanyi lagu kesukaan mereka dahulu. “Ra… aku kembali”, mata Fian
berkaca-kaca. Di lehernya ada sebuah kalung berbandul tulisan arab “ALLAH”.
Fian menjadi seorang muslim. “Fian, kamu…”, Zahra kaget, air matanya menetes.
“Ya Ra… aku disini. Aku gak akan ninggalin kamu lagi. Aku akan selalu ada buat
kamu Ra…”, Fian memeluk erat Zahra sampai sampai Zahra dapat mendengar detak
jantungnya Fian. Zahra juga memeluknya dengan erat seakan tak mau kehilangannya
lagi. Mawar putih yang ada di sekeliling mereka pun menjadi saksi cinta mereka
berdua.