Minggu, 28 Januari 2018

Alfa Omega; Rumah Semangat untuk Anak Jalanan


Sekolah Alfa Omega adalah bangunan pendidikan dengan semangat lokalitas. Terletak di kota Tangerang, di daerah 11700 sqm dengan kondisi sawah dan sawah sebelumnya. Desain merespon kondisi tanah yang tidak stabil ini dengan menaikkan struktur sehingga konstruksi dibuat melaaayang 2.1 m diatas tanah dengan menggunakan konstruksi baja. Situs itu sendiri dipilih sebagai bagian dari skema desain, - sesuai dengan lingkungan alamnya, untuk memberi anak-anak rasa kedekatan dengan alam, sehingga memohon pengalaman belajar di luar ruangan.

Alfa Omega adalah refleksi terhadap proses pembelajaran tanpa henti yang digambarkan dalam pembelajaran ketukangan yang pedagogis, teknis, dan filosofis. Belajar terhadap material lokal yang jujur dengan penyelesaian detail – detail yang teknis dan secara filosofis dengan bentukan geometris sederhana dan menyelesaikan masalah konstruksi bangunan. Siluet atap sinusoidal tidak terputus sedikit banyak menggambarkan awal dan akhir, antara alfa dan omega, mengenai penggalian batas potensi atap nipah yang mudah dibentuk,dengan konstruksi yang paling sederhana, konstruksi bentuk segitiga dengan perbedaan sudut di perulangan kuda – kuda dengan jarak 600 mm yang kemudian lengkungan ini ditransformasikan secara konsisten dan diulang pada bentuk railing, dan bangku sebagai tempat untuk bertegur sapa, dari hal yang besar ke hal yang kecil. bentuk lengkung diulang kembali dalam bata yang dikonstruksi meliuk – liuk dengan celah – celah kecil yang membuat sirkulasi udara silang bisa terjadi.

Konfigurasi massa bangunan diatur supaya pengguna bisa mendapatkan akses visual ke amphitheatre, ruang bermain. Jembatan pun dibuat untuk menghubungkan massa bangunan satu dengan yang lain menggunakan konstruksi tidak terikat. Konstruksi bangunan dibedakan berdasarkan berat dan tinggi bangunan. Bangunan penerima, Workshop yang hanya satu lantai dikonstruksi menggunakan bambu, bangunan sekolah dikonstruksi menggunakan konstruksi baja, dan bangunan kantin 2 lantai dikonstruksi dengan mengggunakan portal catenary bambu sebagai penyatu 4 massa bangunan di tengah – tengah lahan.

Proses desain dan konstruksi adalah proses permainan reduksi atau mengurangi yang tidak perlu. Dengan mengurangi yang tidak perlu, atau menyederhanakan namun lebih jauh lagi Berproses disini adalah sebuah sumber pelajaran dan pengajaran universal yang ditemukan dengan pelatihan turun temurun dengan berkolaborasi dengan tukang – tukang Sumedang dan Salembaran, ataupun penemuan – penemuan masalah, dan penyelesaian ditempat berdasarkan kemampuan pekerja. Pengguna bangunan dan pekerja diajak untuk bermimpi, kembali kepada kondisi yang jujur untuk mempertanyakan definisi sebuah material dan definisi bagaimana sebuah material itu disusun dengan terus mempertanyakan apakah ada cara yang lebih baik untuk menyusun sebuah material.



Bata kisi – kisi

Dinding dibangun dengan menggunakan material lokal batu-bata 12,5 cm x 25 cm x 7 cm dalam usaha mereduksi jejak karbon. Selain itu bata merupakan material dengan konduktivitas panas yang rendah. Bentuk bergelombang diterapkan pada desain dinding bata untuk mewujudkan efisiensi struktur di mana bentuk lengkung akan lebih kokoh dibandingkan bentuk bidang linier. Bentuk bergelombang akan memyeimbangkan bidang dinding sehingga struktur kolom praktis tidak diperlukan. Dengan demikian biaya dan waktu pembangunan dapat dikurangi dan ekspresi fasad yang lebih baik dapat dibentuk.

Pada dinding tersebut terdapat kisi-kisi yang terdiri dari kisi-kisi yang lebar dan kecil. Fungsi kisi-kisi tersebut adalah memungkinkan untuk terjadinya cross ventilation di dalam ruangan. Untuk menghindari tampias air hujan, bagian yang terlubangi terdapat pada bidang yang cekung.



Railing lengkung

Bentuk kurva merupakan metafora dari alam yakni sungai yang mengalir. Railing terbuat dari batang pipa besi yang disusun vertical kemudian disambung dengan system las. Pipa berukuran 3 inci dibentuk lengkung sebagai rangka hand railing dan pipa ukuran 1 inci adalah railing yang disusun vertical dan dimiringkan mengikui pola dari lajur lengkung pupa 3 inci. Pola lengkung ini termodulasi sepanjang 3 meter dan dilakukan diduplikasi disusun sejajar dengan koridor sekolah. Hal ini ,enghasilkan pengalaman ruang yang baru.

Ketinggian railing 1.1 meter dengan gap bagian bawah setinggi 30 cm yang berfungsi sebagai ruang unutk pot-pot tanaman. Pemberian tanggulan di ujung plat dengan got-got kecil yang berguna sebagai saluran pembuangan air.


Jembatan Bambu

Jembatan ini berfungsi sebagai penghubung sekolah dan pintu masuk. Bentuk jembatan yang memiliki struktur segitiga digunakan sebagai railing dan penopang atap. Pembuatan jembatan menggunakan sumber daya local yaitu material bamboo yang melimpah, kerukangan setempat dan tekniik konstruksi tradisional salah satunya Teknik sambungan ikat.

Pondasi jembatan ini menggunakan cerucuk yang mampu memperbaiki kualitas tanaj menjadi lebih padat. Lantai tebuat dari bamboo yang dibelah setengah kemudian dipukul hingga merata. Cerucuk pondasi dan cerucuk atap terpisah satu sama lain sehingga menopang beban masing-masing.

Atap Nipah

Bentuk atap adalah representasi dari bukit dan lembah. Bentuk lengkung atap yang modular menghemat waktu konstruksi melalui proses pre-fabrikasi di luar site. Setelah rangka tebentuk, rangka dirangkai di atas plat lantai. Rangka atap diventuk dengan struktur utama besi hollow 50mm x 100mm dan 30 mm x 50mm. Material lokal bambu digunakan untuk membentuk rangka sekunder atap yang menopang finishing atap. Untuk material penutup atap mengadaptasi bangunan tradisional pesisir. Untuk itu dipilih nipah dalam uusaha mereduksi jejak karbon. Sementara bilik bambu digunakan sebagai plafon ruang dalam. Karpet anti air diletakkan di antara mipah dan bilik bambu untuk mencegah air masuk ke ruang dalam.

Pada akhirnya alfa omega adalah sebuah semangat pembelajaran tanpa henti dalam balutan mimpi anak – anak, sehinggadalam perjalanan hidup kita, kita akan selalu ingat semangat untuk tidak takut salah, tidak takut bermimpi, mengingat jati diri kita sebagai seorang manusia pembelajar.



Minggu, 07 Januari 2018

Niat


INGAT nggak, ketika kita kecil, mungkin di suasana perayaan tujuh belasan di kampung? Di sebuah lintasan rumput atau tanah, ada beberapa lintasan yang dibatasi tali rafia. Kita, yang masih kanak-kanak, ada di salah satu lintasan tersebut. Di depan wajah kita, ada sebuah sendok yang kita gigit pangkalnya. Di cekungan sendok itu ada kelereng. Kita jaga mati-matian supaya kelereng itu tidak jatuh dari sendok, selama kita berjalan secepat mungkin menuju garis finish di depan sana.


Ketika itu, jantung kita berpacu kencang, kencang banget. Dag-dug-dag-dug... . Nafas kita memburu, saling menyusul dengan detak jantung. Di punggung, kedua tangan kita saling menggenggam. Kaki-kaki kita mencoba melangkah secepat mungkin, tapi kita atur kecepatannya sampai pada titik yang 'pas' : tidak terlalu lambat sehingga bisa mendahului peserta lain, tapi tidak terlalu cepat sehingga kita kehilangan keseimbangan dari semua faktor pendukung, yang pasti akan menyebabkan 'out of control': kelereng kita jatuh dari sendoknya. Ada satu titik yang paling pas, somewhere in between, dan kita akan menemukan 'titik keseimbangan semuanya' itu dalam di proses melakukannya. Titik itu akan kita temukan sendiri setelah berangkat dari garis start.



Kita bahkan tidak menyadari teriakan-teriakan penonton yang begitu riuh. Ekspresi orang tua kita yang begitu senang menyaksikan kita 'bertarung di arena' sambil bertepuk tangan memberi semangat, tidak lagi kita perhatikan. Kita pun tidak memperhatikan kalau anak cewek yang kita taksir sedang meneriakkan nama kita di pinggir sana, memberi semangat. Dan kita juga, dengan sendirinya, tidak (merasa perlu) membayangkan gimana manisnya nanti ekspresi senyum malu-malu si anak itu, ketika hadiah kemenangan lomba ini kita kasihkan ke dia. Itu, pretty much, 'kagak usah dibayang-bayangin sekarang'. Pokoknya manis. 



Pada saat itu, kita adalah 'gladiator' di arena rumput dan bentangan tali rafia. Kita tidak memikirkan untuk menikmati kemenangan: saat itu kita simply menghirup pertarungannya. Pada saat itu, apapun selain garis finish dan sendok dengan kelereng di mulut sedang tidak relevan di kehidupan kita.






Sebelum berangkat, memang kita menyadari ada penonton, ada arena. Ada orang tua, ada teman-teman, ada ibu-ibu tetangga. Ada ibu tua yang berjualan minuman di pinggir lapangan, ada juga satu-dua balon yang lepas tertiup angin. Anak cewek yang manis itu juga ada di pinggir lapangan, siap memberi semangat. Tapi saat-saat menjelang wasit meneriakkan satu kata yang membuat semua peserta berpacu meninggalkan garis start, semua itu menjadi samar.



Menjelang wasit meneriakkan satu kata itu, alam semesta pelan-pelan menghilang. Dan kita tahu, nanti setelah berangkat, dengan sendirinya detak jantung, kecepatan kaki, sudut kemiringan kepala, tekanan gigi pada sendok, dan akselerasi kelajuan dan meknisme pengurangan kecepatan gerak kaki kita bertemu pada satu titik keseimbangan sempurna. A perfect equilibrium. Pada saat itu, semua hilang. Lenyap. Dan kemudian, di alam semesta ini ada dua hal saja: sendok dengan kelereng di mulut kita, dan garis finish. 



Itulah niat.



Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!



Ketika lomba balap kelereng tadi, kita tidak mengatur seberapa harusnya tekanan gigi kita pada sendok. Berapa kecepatan langkah kaki kita. Berapa sudut kemiringan kepala kita. Berapa akselerasi kita, dan pada titik mana kita harus menambah atau mengurangi kecepatan. Mereka yang akan menyesuaikan dirinya masing-masing kepada niat kita.



Niat untuk membawa kelereng di atas sendok sampai garis finish. Apapun selain itu, tidak relevan. Itulah niat. Niat bertaubat, niat kembali dan pulang kepada Allah, adalah seperti itu. Niat shalat, ya kurang lebih begitu. Niat bangun malam, ya begitu juga. Niat puasa, niat studi, ya sama saja kurang lebih. You got the picture.



Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Allah, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Allah ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu. 



Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya. Yang ada hanya Allah ta'ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka. 



Dengan niat yang seperti itu, mengucapkan niat secara verbal atau tidak, bukan masalah. Kita tidak harus melafalkan sebelum perlombaan, "Saya niat balap kelereng, menggigit sendok dan menjadi peserta paling depan, dua kali bolak-balik, lillahi ta'ala." Jika tidak tercipta sebuah 'keterhubungan' tadi, walaupun dengan niat yang dilafalkan, pengucapan itu bahkan tidak ada gunanya.



Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan 'rembesan' dari sebuah niat batin yang turun ke jasad sehingga terlafalkan. Bukan sebaliknya.



Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Allah, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Allah ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.




"Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya," sabda Rasulullah ketika hijrah. 



Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul 'Aziz: "Ketahuilah wahai Umar, bahwasannya bantuan Allah kepada seorang hamba berdasar atas niatnya. maka barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula bantuan Allah kepadanya."



Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Allah ta'ala. Hadiah lomba balap kelereng? Kita berikan sajalah pada gadis kecil manis yang kita taksir itu. Bayangkan betapa manis senyumnya nanti. [] 






Keterangan: Foto diambil dari sini dan sini, tanpa ijin.

Malu

Kadang gua malu ketika gua tau tentang suatu ilmu dan bisa ngomong dengan bijakya, tapi gua gabisa mengamalkan apa yang udah gua tau itu.

Apalagi gua masuk ormawa, yang tujuannya berdakwah. Bergerak dalam ranah multimedia, yang setiap minggu posting hal faedah yang ngajak untuk jadi manusia yang beragama dan hidup sesuai aturanNya.

Malu.

Cuma sedikit kesadaran itu muncul, kemudian kembali lagi seperti biasa.

Ya Rabb, mohon beri aku kesadaran untuk selalu mengingatMu.
Untuk selalu mengingat arah tujuan hidupku
Unutk selalu menghadapkan hatiku padaMu

Aamiin.