Selasa, 17 Juli 2012

Kamu itu Berbeda

“Ah, gue kesel kesel kesel!”
“Kenapa sih Zu? Alvin lagi? Pengecut lo!”
“Gue juga ingin ungkapi perasaan gue Lev, tapi… gue malu setiap ngeliat dia, lidah gue kelu di depannya.”
“Gak ada salahnya nyoba kan Zu?”
“Iya, masa sih gue yang mulai duluan? Gue itu cewek!”
“Ya daripada lo begini terus. Gue tau lo itu geregetan kan, lo kesel, tapi gak ada yang bisa lo lakuin, iya kan? Emang lo mau dia keburu diambil orang?”
“Gak mau sih Lev. Tapi, orang kaya dia itu gak peka deh sama perasaan cewek. Anehnya, gue tetep suka sama dia. Dia itu beda sama cowok lain.”
“Coba aja dulu Zu, suka atau gak suka dia sama lo, yang penting lo udah ungkapi isi hati lo. Daripada batin lo kesiksa begini.”
“Hmmm, gue pikir-pikir dulu ya Lev.”

Malam hari. Aduh Alvin, kamu kok ganteng banget sih! Badanmu tinggi, putih, hidungmu mancung, alis matamu tebal. Dan semyummu, lesung pipimu, manis! Lalu, aku suka matamu, mata indah berwarna cokelat muda. Kenapa sih wajah kamu itu gak mau pergi dari pikiranku? Kamu tahu apa yang aku suka selain itu? Kepolosan-mu, ya kamu itu polos! Teman-temanku menyebutmu ‘tablo’. Kamu itu beda, kamu itu gak rusuh seperti cowok-cowok lain. Kamu itu apa adanya, semuanya gak dibuat-buat seperti yang lainnya.

Hey, ngomong-ngomong saran Leva gimana ya? Ah, aku malu sama kamu Vin! Memang aku gak bisa menahan rasaku ini, tapi rasa itu tersumbat setiap kali melihatmu, aku gak bisa ngomong. Tapi aku gak bisa terus-terusan begini. Kamu tahu gak? Batin aku sakit nahan perasaan ini. Aku cape cuma bisa liatin kamu dari jauh. Sekarang, aku putuskan untuk menyampaikan perasaanku ini. Tuhan, bantu aku.
***
Ah, aku suka pagi ini, awan-nya mendung tapi tidak hujan. Hey itu kamu Vin! Sekarang aku harus berani.
“Hey Vin, pulang sekolah nanti kamu ada acara gak?”
“Eh Zura, gak ada kok. Emangnya kenapa?”
Jantungku berdegup tak beraturan. “Pulang sekolah nanti boleh ketemuan gak di taman sekolah?”
“Oh, okedeh” Ah, lesung pipi itu manis sekali Vin.
Aku senang karena aku bisa berbicara denganmu. Pagi-pagi gini sudah disuguhkan senyuman manismu, apalagi mata itu, indahnya. Aku tambah bersemangat menjalani hari ini. Hey, tapi jantungku masih tak terkendali.

Bel pulang sekolah berbunyi. Detak jantungku semakin cepat. Berkali-kali aku menarik nafas panjang untuk merileks-kan diriku. Hey, siapa itu? Apa itu kamu Vin? Iya itu kamu, tapi siapa cewek di sebelahmu itu? Kelihatannya kamu senang sekali bercengkrama dengannya. Aduh nafasku tiba-tiba sesak Vin. Tahu gak? Hatiku seperti teriris, sakit! Aku gak kuat lihat pemandangan itu, aku segera berlari pulang, air mataku tak bisa ku tahan. Sakit Vin, sakit!

Dan awan begitu gelap diikuti hujan yang deras, seperti melambangkan perasaanku saat ini. Vin, aku yang salah, aku yang bodoh! Aku menyesal kenapa aku tidak berani menyatakan perasaanku dari dulu. Aku sedih, sekarang di hati kamu sudah ada seseorang yang mengisinya. Dan hatiku… Hatiku sudah tak berbentuk lagi Vin, hancur. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Hey, aku baru ingat Levana, hampir saja aku lupa kalau aku punya sahabat. Aku ceritakan semua kejadian ini pada Leva. Untungnya sedihku agak sedikit berkurang.

Drrrt drrrt, ada sms. “Zu, tadi kamu kemana? Aku cari2 tapi gak ada. - Alvin” Eh, itu sms dari kamu Vin?
Maaf ya gak aku bales, gak tepat banget sih sms-nya -_- aku terlanjur sakit Vin. Eh, tapi dapet darimana nomor aku? Dari Leva? Masasih kamu nanyain nomer aku ke Leva. Di hati kamu kan udah ada cewek itu, kenapa cari-cari aku? Hahaha,  ternyata sama saja dengan yang lain.
***
Sudah seminggu berlalu, aku jarang sekali melihatmu. Aku sengaja menghindar darimu. Aku masih sakit. Tetapi Leva memarahiku karena perbuatanku yang seperti itu. Katanya aku harus selidiki dulu siapa cewek itu, apa benar dia pacar kamu. Tapi aku udah cape, aku ingin belajar melupakanmu Vin.  Walaupun, perasaan suka itu masih ada. Tapi, sudahlah!

Pulang sekolah. Dirimu muncul! Aku segera menghindar. Tapi, hey apa kau memanggil namaku?
“Zu, aku cari-cari kamu, ternyata kamu disini.”
“Ada apa mencariku?”
“Aku boleh ngomong sama kamu gak? Kita ke taman sekolah yuk”
Di taman. Kita duduk di sebuah bangku panjang. Hening, aku tak tahu harus bagaimana. Kamu juga hanya diam saja. Apa yang mau kau katakana Vin? Sedari tadi hanya diam. Dan terlintas di pikiranku saat kamu tertawa riang bersama dia.
“Zu, kamu tahu gak? Sebenarnya… aku suka sama kamu.”
Apa? Ini gak salah denger Vin? Batinku.
“Zu…”
“Eh, apa? Bukannya kamu sudah punya pacar? Cewek yang sering sama kamu itu siapa?”
“Maksud kamu Maya? Dia adikku Zu.”
Aku terdiam mendengarnya. Aku kaget, ternyata dia adikmu. Bodohnya aku.
“Zu… maafin aku ya, aku baru berani ungkapi persaanku sekarang. Padahal sudah lama aku suka sama kamu, tapi aku malu. Kamu itu cantik, lucu, aku suka senyum kamu, manis banget. Dan, kamu itu beda dari cewek-cewek lain.”
“Vin, kamu tahu gak? Aku juga suka sama kamu dari dulu.”
Tiba-tiba kau memelukku, begitu erat pelukanmu sampai aku tak bisa bergerak. Ternyata selama ini kamu juga menyukaiku. Hatiku berbunga-bunga Vin. Tak ingin moment ini berakhir.

Tyas
Thanks to ‘kamu’ sumber inspirasiku {}

Senin, 16 Juli 2012

Secret Admirer

Untukmu seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca ini,

Apa kamu sadar jika aku selalu memerhatikanmu? Apa kamu tahu jika aku selalu mencarimu jika kau tidak ada? Apa kamu tahu jika aku menuggumu sepulang sekolah agar bisa melihatmu? Apa kamu tahu jika aku selalu bertanya semua tentangmu pada temanku? Apa kamu tahu itu semua? Apa kau sadar? Ya... mungkin hanya pertanyaan yang dapat aku lemparkan, aku bingung harus mulai darimana.

Tahukah kau saat pertama kali aku melihatmu?Sehari setelah MOS berakhir aku melihatmu di kantin sekolah. Wajah itu… lucu, manis dan entah kenapa aku melihat ada sesuatu yang buat aku tertarik melihatmu. Sayangnya saat itu banyak teman cowok di sekelilingmu yang mebuatku tak leluasa untuk terus memerhatikanmu. Setelah kejadian itu, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Saat itu aku hanya anak baru, aku belum bisa beradaptasi, sampai berbulan-bulanpun aku masih merasa asing di sekolah itu. Dan aku tidak pernah melihatmu lagi setelah itu, aku hampir lupa jika ada sesosok manusia yang bisa membuatku terpesona, ya sosok itu adalah kamu. Kamu menghilang begitu saja dari penglihatanku. Dan semakin lama aku tak melihatmu, perlahan dirimu pun  menghilang dari pikiranku.

Dear you, seseorang yang membuatku tersipu malu saat di dekatmu,

Hey, kemana saja dirimu? Kamu baru terlihat lagi di pandanganku. Di suatu pagi yang kelabu dan rintikan hujan yang membasahi bumi, kau datang kembali. Sungguh aneh, padahal kita satu sekolah tapi jarang sekali bertemu.  Saat itu aku baru saja memasuki ruang kelasku, tak ada manusiapun selain aku, sangat sunyi seperti hatiku saat itu. Aku berdiam di depan pintu, dan sosok itu muncul. Dari kejauhan kau berjalan menuju ruang kelasmu. Speechless, seketika aku kaget dan melangkah mundur dari tempat ku berpijak. Kau lewat di depan kelasku dan aku hanya melihatmu dari balik jendela. Aku senang bisa melihatmu lagi ketika itu, tapi aku benci diriku yang selalu malu saat kau di dekatku. Bodoh!

Sudah sekian lama aku melihat sosokmu tetapi aku tidak tahu siapa namamu, ruang kelasmu, ataupun akun social network-mu. Setelah kau hadir lagi di kehidupanku, aku segera mencari tahu siapa dirimu itu. Aku bertanya-tanya kepada temanku. Aku hanya bisa menyebutkan sosokmu yang selalu memakai jacket berwarna biru. Berbadan tinggi dan putih untuk memperjelas. Tetapi hal itu sangat relatif, banyak orang yang berpenampilan seperti itu. Dan saat pulang sekolah, tidak sengaja aku melihatmu berjalan melewati ruang kelasku. Akupun segera mencari temanku dan memberitahu kalau kaulah yang aku tanyakan itu. Akhirnya jawaban yang selama ini aku tunggupun terjawab, aku tahu siapa namamu dan kelasmu. Dia juga ingin membantuku mencari tahu tentang dirimu.

Sangat minim sekali aku mendapat kabar tentang sosokmu. Kau tidak punya akun social network, satupun. Dan yang mebuatku patah semangat, kamu itu beribadah di tempat yang berbeda denganku. Hmm… pupus sudah. Tapi walaupun begitu aku tetap mengagumi sosokmu.

Kepadamu sesosok manusia tampan nan misterius yang membuatku tak berkutik,

Saat pulang UAS, aku mendapati dirimu sedang bercengkrama dengan teman-temanmu. Ketika itu aku  sedang duduk di bangku dekat pohon, aku tak mau beranjak kemanapun. Aku ingin memerhatikanmu sampai puas. Karena aku mendapat kabar kalau setelah bel pulang berbunyi, kamu selalu segera pulang. Tetapi saat aku sedang menikmatinya, temanmu yang kebetulan aku mengenalnya meledekku dan berteriak “Cie yang lagi ngeliatin ….” Dia menyebut namamu keras sekali. Uh, darimana dia tahu kalau aku… sudahlah, sudah tahukan kalau aku itu…. Dan aku pun terhentak kaget dan tak tahu harus bagaimana, aku salting. Wajahku memerah dan aku tak berani melihat teman-temanmu yang memerhatikanku, apalagi kamu. Aku juga tidak tahu apa kau benar-benar mendengarnya. Aku segera berlari pulang, aku tak tahu harus meletakkan wajahku di mana, betapa malunya aku.

Untuk sosok yang membuatku ingin berteriak saat melihatnya. Ya! itu kamu,

Sudah satu bulan 2 hari aku tak melihat sosokmu yang selalu menjadi topik pembicaraan di twitter-ku. Kamis 14 Juni 2012, itu terakhir kali aku memerhatikanmu sebelum liburan sekolah yang panjang sekali. 4 minggu tanpa melihat sosokmu, ah rindunya.

Dan rindu itu terbayar sudah. Senin pagi 16 Juli 2012 hari pertama masuk sekolah, aku sedang berdiri mengikuti upacara, aku tidak ‘ngeh’ kalau di sebelah aku itu kelas kamu. Upacara memang belum di mulai, saat itu kamu tiba-tiba datang dan berdiri di bagian depan barisan. Oh betapa terkejut bercampur senang perasaanku saat itu. Intinya aku bahagia bisa sedekat itu denganmu. Ternyata, kamu makin tampan yah :3. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri, tak bisa berteriak walaupun aku ingin sekali. Nafasku sesak. Aaaaaaah aku senang! Tapi aku tak bisa memandangi wajahmu yang tampan itu! Karena kau ada di sebelah depanku. Walaupun begitu, aku tidak mau kejadian itu berakhir.

Setelah upacara, aku melepas rindu kepada teman-temanku. Dan ada kamu lagi di dekat situ. Aku terus memerhatikanmu. Sesekali kau melihat ke arahku. Hey! Apa kau melihatku? Apa mungkin kamu sudah tahu? Tapi, apa kau mengenalku?

Semoga saja kamu tahu perasaanku ini. Sosokmu selalu berlari-lari di pikiranku. Bayangmu tak mau hilang. Apa mungkin semua yang aku mau akan terjadi? Apa mungkin aku bisa memilikimu dengan perbedaan ini? Huh yasudahlah! Tahu atau tidak tahu kau perasaanku aku tetap mengagumi kok. Kamu itu lucu. Kamu itu beda. Aku suka!

Dari pengagum rahasiamu yang
hanya bisa memerhatikanmu dari kejauhan,
 yang hanya bisa diam tak berani berkata.


Tyas :)

Rabu, 11 Juli 2012

Mawar Putih Zahra

         Embun pagi menetes dari dedaunan. Kabut mulai menipis seiring munculnya sinar mentari. Zahra dengan perlahan membuka matanya, dilihatnya samar-samar sesosok wanita cantik yang sedang berdiri di hadapannya bersama seorang lelaki di sampingnya. Di samping tempat berbaringnya ada sesosok laki-laki yang memakai jubah putih beserta masker yang ada di bawah dangunya. “Ra… ini mama.” ujar wanita cantik itu dengan mata yang berbinar seraya menggenggam lembut tangan Zahra. “Sayang… papa disini.” ujar lelaki di samping wanita itu sambil mengelus halus rambut Zahra. “Mama… Papa…” mereka betiga pun berpelukan dengan hangatnya, dan suasana pun menjadi sangat haru saat itu.

           Seminggu setelah kejadian yang mengaharukan itu, Zahra sudah dibolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah semakin baik. Mereka pun sangat gembira mendengarnya walaupun, masih ada kesedihan terbesit  di dalam hati mereka.

            Zahra hanya terdiam membisu setiba di rumahnya itu. Hari-hari dilewatinya dengan wajah yang murung. Dia sering sekali menatap keluar jendela kamarnya dan memandangi mawar putih yang ada di halaman rumahnya. Keluarganya pun berusaha menghiburnya, tetapi sekilas ia tersenyum dan kemudian termenung lagi. Pipinya basah karena air yang terus mengalir dari matanya.

            Hari ini, Zahra bersama mamanya pergi menuju sekolah Zahra. Sekolah yang amat ia rindukan. “Zahra… kami kangen banget sama kamu”, ujar Asyifa teman sebangkunya. “ Aku juga…”, Zahra tak dapat membendung air matanya lagi yang sedari tadi ia tahan. Sejak insiden  itu, Zahra sudah lama tidak sekolah karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tetapi saat ia sedang melepas rindu dengan teman-temannya, ia harus pamit karena ia akan meninggalkan sekolah ini. Zahra memberi pelukan hangat kepada teman-temannya. Setelah pamit ia bersama mamanya pergi ke TU mengurusi rapor dan berkas-berkas lainnya untuk sekolah barunya nanti.

***

         Ini hari pertama Zahra di sekolah barunya. Pagi itu udara sangat sejuk di kota Bandung. Zahra pun tiba di sekolah bersama mamanya. Zahra memasuki ruang kelas bersama Bu Sindy. “Assalammualaikum, selamat pagi, perkenalkan nama saya Zahra Khoirotun Hisan. Saya pindahan dari Yogyakarta. Salam kenal”, ujar Zahra yang berdiri di depan kelas yang sangat asing baginya. Zahra adalah gadis berkerudung, parasnya elok nan cantik, hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya sipit berwarna kecoklatan, dan kulitnya pun putih, persis orang Arab. “Oke Zahra silahkan duduk di tempat yang kosong”, ibu guru pun mempersilahkan Zahra duduk, kemudian memulai pelajarannya.

             Entah mengapa anak-anak di kelas itu sangat mengasingkan Zahra. Saat istirahat tak ada seorang pun yang mengajaknya berbicara. Namun hal itu bisa dihadapi Zahra, sejak kajadian itu dia hanya diam menyendiri di kamarnya. Zahra ingat tadi pagi ia melihat ada taman sekolah yang di tanami banyak bunga. Zahra pun berniat untuk pergi kesana, dan segera beranjak dari kelas yang asing itu. Sekolah baru Zahra ini memang elite, lapangannya luas, gedungnya berlantai 5, ada sebuah gereja, serta ada mushola yang sangat indah dengan kubahnya berwana biru. Di samping masjid itu ada taman sekolah yang sangat indah. Di situlah Zahra sekarang berada. Ia menikmati suasana taman itu dan memandangi bunga kesukaannya, yaitu mawar putih. Banyak sekali kenangan yang terbesit di mawar putih itu. Ia kembali teringat dengan seseorang yang sangat ia sayangi.

     Saat ia terdiam di bangku taman, Zahra menyadari ada depasang mata yang memperhatikannya. “Hey siapa disitu?”, teriak Zahra sambil clingak-clinguk. Dan kemudian orang itu muncul. Zahra pun kaget ketika orang itu  tiba-tiba berada tepat di samping bangku yang di dudukinya. Sesosok laki-laki dengan postur badan yang tinggi dan mata teduhnya,  hidung mancungnya, juga rambut yang agak sedikit keriting dan sedikit acak-acakan. “Hey siapa kamu?”, tanya Zahra dengan suaranya lembutnya. “Kamu ngapain disini sendirian?”, cowok itu membalasnya dengan pertanyaan juga. “Hmm… aku cuma ingin melihat bunga-bunga disini”, jawab Zahra. “Kamu anak baru ya? Aku baru lihat kamu”, tanya cowok itu sambil duduk di sebelah Zahra. “Iya, aku anak baru disini”. “Oya kenalin aku Alfianus Sandehang, panggil aja aku Fian. Aku kelas 12”, ujar cowok itu sambil tersenyum seraya menyodorkan tangannya. “Zahra Khoirotun Hisan kelas 10”, Zahra pun membalas senyum itu dan menjabat tangan Fian. Fian menatap mata Zahra, ia merasa mata itu tidak asing baginya. Mata itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia rindukan. “Oh, namanya indah ya kaya…. orangnya”, ujar Fian sambil memandangi Zahra. “Makasih kak”, Zahra pun tersenyum, senyuman manis yang muncul kembali setelah lama menghilang.

           Saat mereka sedang asyik mengobrol, bel sekolah pun berbunyi. Percakapan mereka pun terhenti. “Masuk kelas yuk kak”, Zahra tersenyum dengan bahagia dan mengajak Fian beranjak dari taman itu. Mereka pun berjalan menuju kelas mereka. Dan terpisah di Lab Kimia karena kelas mereka berlawanan arah. “Sampai ketemu lagi ya Ra…”, ujar Fian. Terlihat ada lesung di kedua pipi Fian. Zahra terpaku melihatnya. Fian mirip sekali dengan seseorang yang sangat Zahra rindukan itu.

***
           
         Sudah hampir sebulan Zahra bersekolah disitu, hubungannya makin akrab dengan Fian. Zahra juga menceritakan semua tentang Fian kepada mamanya. Mamanya sangat senang karena anaknya bisa ceria seperti dulu. Fian adalah kapten basket di sekolahnya. Fian juga mahir bermain musik, terutama piano. “Fian, kita mau kemana sih?”, Fian menarik lengan Zahra. “Sudah Ra, kamu ikut aja ya jangan cerewet!”, ujar Fian sambil berjalan menuju suatu tempat yang sudah ia rencanakan. Akhirnya mereka pun sampai di sebuah tempat. Ternyata tempat itu adalah ruang kesenian yang ada di sekolahnya. Disitu ada sebuah piano, Fian membuka dan memainkan piano yang sudah  menjadi sahabatnya itu. Jemarinya menari-nari di atas tuts-tuts piano. Fian menyanyikan lagu “Leaving on the jet plane”. Suara Fian begitu merdu, Zahra merasa nyaman berada di dekat Fian. Zahra pun ikut bernyanyi. Betapa romantisnya saat itu.

          “Ra… semenjak hadirnya kamu disini aku merasa bahagia banget. Kamu itu kayak bidadari yang ngilangin rasa sepi aku selama ini. Dan mata kamu itu ngingetin aku sama adik aku Angel, yang sangat aku sayangi. Kalau dia masih ada, mungkin dia sama besar dan cantik sepertimu”, ujar Fian dengan mata yang berbinar-binar. Adiknya Angel, sudah meninggal karena penyakit livernya satu tahun yang lalu. Saat kepergiannya Fian tidak berada di samping Angel. Saat itu Fian masih berada di dalam pesawat, dan setibanya di Rumah Sakit, Angel sudah pergi untuk selamanya. Memang sebelum meninggal Angel mendonorkan kornea matanya, hal itu tidak di ketahui oleh Fian.

            “Aku…juga ngerasa begitu Fi. Kamu dateng secara tiba-tiba dan ngembaliin ceriaku seperti dulu. Aku sangat berterimakasih sama kamu”, ujar Zahra. Tanpa disadari air mata Zahra mengalir. “Kok kamu nangis Ra? Kenapa?”, Fian kaget dan langsung mengusap air mata Zahra dengan lembut. Kamu itu persis kakak aku yang sangat aku sayangi… tawamu, senyummu, lesung pipi kamu.Batin Zahra.

***
           
               Pagi ini Zahra datang lebih pagi. Ia panik mencari-cari barang yang sangat berharga baginya. “Kamu kenapa Ra… kok kayak orang kebakaran jenggot gitu?”, tiba-tiba Fian muncul di hadapannya. “Aduh Fian kamu bikin kaget aja sih! Oya, kamu liat gelang aku gak?”, tanya Zahra yang masih kalang kabut mencari gelangnya itu. “Maksud kamu ini?”, Fian memperlihatkan gelang yang di temukannya. Gelang dengan rantai silver dan ada bandul mawar putih di sekelilingnya. “Iya ini Fi… kok bisa ada di kamu?”, Zahra pun senang dan langsung mengambil gelang itu. “Kemarin aku temuin di bangku piano itu”. Saat di ruang kesenian kemarin, Zahra tak menyadari gelangnya terjatuh. Gelang itu berharga sekali bagi Zahra. Gelang itu adalah pemberian dari kakaknya.
           
             Sore ini seperti biasa Zahra menunggu Pak Marno sopirnya. Sudah lama ia menunggu di Lobby sekolah tetapi Pak Marno tak kunjung datang. Tiba-tiba handphone Zahra berbunyi, dengan segera ia mengangkatnya. “Ra… mama sama Pak Marno kejebak macet. Kamu gapapa ya pulang sendiri naik taksi. Love you sayang. Assalammualaikum”. “Okay ma… love you too. Waalaikumsalam”, jawab Zahra dan kemudian berjalan menuju gerbang sekolah.

            Setiba di gerbang sekolah ia bertemu dengan Fian. “Hai Ra… kamu gak di jemput? Mau aku antar?”, ujar Fian sambil membuka helm yang warnanya senada dengan motor tiger putihnya. Zahra hanya terdiam, insiden itu kembali terlintas di pikirannya. Zahra berlari meninggalkan Fian begitu saja dan masuk kedalam taksi. Fian kaget melihat Zahra yang tanpa sebab meninggalkannya begitu saja.

***
           
          “Ra… bangun, ada yang nyariin kamu tuh di bawah”, mama membangunkan Zahra yang masih tertidur. “Ha? Siapa ma? Kok pagi-pagi begini!”, Zahra terbangun dari tempat tidurnya. Ia langsung mencuci muka dan memakai kerudungnya. Betapa kagetnya Zahra ketika ia melihat Alfian ada di ruang tamunya. Zahra takut bila Fian ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Tetapi untungnya papa Zahra sedang keluar kota karena ada urusan pekerjaan. “Fian… kok kamu bisa tau rumah aku?”, tanya Zahra seraya duduk di sofa yang berwarna putih gading di ruang tamunya. “Kemarin aku ngikutin kamu dari belakang Ra… Kenapa sih kamu ninggalin aku tiba-tiba?”, tanya Fian. “Oh itu, aku…”, Zahra kebingungan ingin menjawab apa. Suasana pun hening. “Yaudah gapapa kalau kamu gak mau jawab. Kita jalan-jalan yuk!”, ujar Fian dengan suara lembutnya. “Mau kemana Fi?”. “Sudah, ganti baju dulu sana! Aku tunggu”. “Yaudah sebentar ya”, ujar Zahra.

         Sudah 20 menit Fian menunggu. Akhirnya Zahra pun muncul dengan baju terusan selutut berwarna putih kecokelatan dan celana jeans. Juga kerudung yang senada dengan bajunya. Zahra keliatan cantik memakainya. Setelah itu mereka berpamitan dengan mama Zahra.

       “Fian, kita naik apa?”, tanya Zahra. “Naik motor aku lah”. “Hah?”, Zahra kaget mendengarnya. “Kenapa? Kamu takut?”, tanya Fian dengan suara lembutnya. “Aku… Aku trauma naik motor Fi…”, ujar Zahra dengan raut wajah yang ketakutan. “Jangan takut Ra, kan ada aku. Nanti aku pelan-pelan kok naik motornya”, ujar Fian menenangkan Zahra. “Tapi Fi….”, Zahra masih saja trauma dan teringat akan insiden itu. “Nanti aku ajak kamu ke suatu tempat yang indah deh. Percaya aku Fi….”, ujar Fian dengan menatap Zahra dan tersenyum manis. Zahra pun terdiam melihat senyuman Fian itu. Akhirnya Zahra mau melawan traumanya itu. “Pelan-pelan ya Fi…”, Zahra memegang erat baju Fian.

      Akhirnya mereka sampai di suatu tempat. “Sekarang buka mata kamu”, Fian melepaskan tangannya dari mata Zahra. Suasana di tempat itu sangat sejuk dan tenang. Tempat itu di penuhi dengan bunga kesukaan Zahra, ya mawar putih. “Fi, kok kamu tau aku suka mawar putih?”, Zahra heran. “Aku udah tau semuanya ko Ra. Tentang insiden kecelakaan yang buat kamu sering berubah-ubah sikap. Mama kamu yang cerita sama aku. Kenapa kamu ga mau cerita sama aku?”, ujar Fian. “Maafin aku ya Fi... aku belum berani cerita ke siapa-siapa”.

            Setahun yang lalu, Zahra bersama kakaknya Rangga sedang naik motor dari membeli kado untuk mamanya. Saat ingin menyalip sebuah truk, tidak disangka dari arah berlawanan ada sebuah mobil yang sedang melaju kencang. Kecelakaan pun tidak bisa dihindari, kepala Rangga membentur aspal. Dan mata Zahra terkena serepihan kaca. Mereka langsung di larikan ke Rumah Sakit. Rangga meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Sementara Zahra masih terselamatkan. Dan ketika tersadar, Zahra tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap gulita. Dan ia lebih terpuruk lagi ketika mendengar kakak yang sangat ia sayangi meninggal. Zahra juga tidak bisa ikut di hari pemakaman Rangga. Dua bulan kemudian ada seseorang yang mendonorkan kornea matanya kepada Zahra. Ternyata pendonor itu adalah adik Fian.

***
           
          Mereka pun pulang setelah puas menikmati surga bunga. Saat mereka sedang asyik mengobrol di ruang tamu, terdengar suara klakson mobil. Zahra kaget, ternyata itu papanya. “Om, sudah pulang?”, Fian meyodorkan tangannya. Ayah Zahra melirik kalung salip milik Fian, dia hanya mengabaikan salam Fian itu dan berlalu meninggalkannya. Seketika suasana menjadi hening.

           Setelah Fian pulang ayah Zahra sangat marah kepada Zahra. Ayah Zahra tidak suka bila Zahra dekat dengan Alfian. Karena mereka berbeda agama. Zahra terus menangis di pelukan ibunya. Tetapi ayah Zahra sangat keras dan tidak bisa dibantah.

            Semenjak kejadian itu Zahra jatuh sakit. Asma akutnya kambuh dan ia harus di rawat di Rumah Sakit. Zahra hanya bisa terbaring lemas di tempat tidurnya. Tiba-tiba ada yang mengiriminya sebuah kado dan rangkaian bungan mawar putih. Isi kado itu adalah sebuah boneka beruang kecil putih. Dan ada sebuah surat yang berisi :

            “Dear Zahra. Ra… cepet sembuh ya. Saat kamu membaca surat ini pasti aku sudah ada di pesawat. Ayahku memintaku untuk menemaninya di Australia. Jadi, aku juga akan kuliah di sana. Sebenarnya aku ingin sekali menemui kamu Ra. Tapi pasti papa kamu marah. Maaf ya Ra… I’ll miss you Ra. Someday I’ll be back for you. From Alfianus Sandehang.”

            Air mata Zahra terjatuh setelah membaca surat dari Fian. Sepi kembali menyapa hari-hari Zahra. Zahra kembali menjadi anak yang pemurung dan suka menyendiri lagi. Kemana pun ia pergi, boneka beruang putih itu tak pernah lepas dari tangannya. Setiap malam ia selalu memandangi foto dirinya bersama Fian. Ia selalu teringat saat-saat indah bersama Fian dahulu.

***
           
       Dua tahun telah berlalu. Zahra masih berharap agar Fian datang menemuinya, menghapus air matanya dan menemani hari-harinya lagi. Dan hari ini Zahra berniat pergi ke taman bunga tempat  Fian dahulu mengajaknya. Zahra terdiam di tempat duduk mereka dahulu. Zahra termenung memandangi bunga-bunga mawar yang ada di sekelilingnnya. Tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat ia kenali.

            “So kiss me and smile for me. Tell me that you’ll wait for me. Hold me like you never let me go…”

            Fian datang membawa mawar putih dan bernyanyi lagu kesukaan mereka dahulu. “Ra… aku kembali”, mata Fian berkaca-kaca. Di lehernya ada sebuah kalung berbandul tulisan arab “ALLAH”. Fian menjadi seorang muslim. “Fian, kamu…”, Zahra kaget, air matanya menetes. “Ya Ra… aku disini. Aku gak akan ninggalin kamu lagi. Aku akan selalu ada buat kamu Ra…”, Fian memeluk erat Zahra sampai sampai Zahra dapat mendengar detak jantungnya Fian. Zahra juga memeluknya dengan erat seakan tak mau kehilangannya lagi. Mawar putih yang ada di sekeliling mereka pun menjadi saksi cinta mereka berdua.