Rabu, 11 Juli 2012

Mawar Putih Zahra

         Embun pagi menetes dari dedaunan. Kabut mulai menipis seiring munculnya sinar mentari. Zahra dengan perlahan membuka matanya, dilihatnya samar-samar sesosok wanita cantik yang sedang berdiri di hadapannya bersama seorang lelaki di sampingnya. Di samping tempat berbaringnya ada sesosok laki-laki yang memakai jubah putih beserta masker yang ada di bawah dangunya. “Ra… ini mama.” ujar wanita cantik itu dengan mata yang berbinar seraya menggenggam lembut tangan Zahra. “Sayang… papa disini.” ujar lelaki di samping wanita itu sambil mengelus halus rambut Zahra. “Mama… Papa…” mereka betiga pun berpelukan dengan hangatnya, dan suasana pun menjadi sangat haru saat itu.

           Seminggu setelah kejadian yang mengaharukan itu, Zahra sudah dibolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya sudah semakin baik. Mereka pun sangat gembira mendengarnya walaupun, masih ada kesedihan terbesit  di dalam hati mereka.

            Zahra hanya terdiam membisu setiba di rumahnya itu. Hari-hari dilewatinya dengan wajah yang murung. Dia sering sekali menatap keluar jendela kamarnya dan memandangi mawar putih yang ada di halaman rumahnya. Keluarganya pun berusaha menghiburnya, tetapi sekilas ia tersenyum dan kemudian termenung lagi. Pipinya basah karena air yang terus mengalir dari matanya.

            Hari ini, Zahra bersama mamanya pergi menuju sekolah Zahra. Sekolah yang amat ia rindukan. “Zahra… kami kangen banget sama kamu”, ujar Asyifa teman sebangkunya. “ Aku juga…”, Zahra tak dapat membendung air matanya lagi yang sedari tadi ia tahan. Sejak insiden  itu, Zahra sudah lama tidak sekolah karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tetapi saat ia sedang melepas rindu dengan teman-temannya, ia harus pamit karena ia akan meninggalkan sekolah ini. Zahra memberi pelukan hangat kepada teman-temannya. Setelah pamit ia bersama mamanya pergi ke TU mengurusi rapor dan berkas-berkas lainnya untuk sekolah barunya nanti.

***

         Ini hari pertama Zahra di sekolah barunya. Pagi itu udara sangat sejuk di kota Bandung. Zahra pun tiba di sekolah bersama mamanya. Zahra memasuki ruang kelas bersama Bu Sindy. “Assalammualaikum, selamat pagi, perkenalkan nama saya Zahra Khoirotun Hisan. Saya pindahan dari Yogyakarta. Salam kenal”, ujar Zahra yang berdiri di depan kelas yang sangat asing baginya. Zahra adalah gadis berkerudung, parasnya elok nan cantik, hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya sipit berwarna kecoklatan, dan kulitnya pun putih, persis orang Arab. “Oke Zahra silahkan duduk di tempat yang kosong”, ibu guru pun mempersilahkan Zahra duduk, kemudian memulai pelajarannya.

             Entah mengapa anak-anak di kelas itu sangat mengasingkan Zahra. Saat istirahat tak ada seorang pun yang mengajaknya berbicara. Namun hal itu bisa dihadapi Zahra, sejak kajadian itu dia hanya diam menyendiri di kamarnya. Zahra ingat tadi pagi ia melihat ada taman sekolah yang di tanami banyak bunga. Zahra pun berniat untuk pergi kesana, dan segera beranjak dari kelas yang asing itu. Sekolah baru Zahra ini memang elite, lapangannya luas, gedungnya berlantai 5, ada sebuah gereja, serta ada mushola yang sangat indah dengan kubahnya berwana biru. Di samping masjid itu ada taman sekolah yang sangat indah. Di situlah Zahra sekarang berada. Ia menikmati suasana taman itu dan memandangi bunga kesukaannya, yaitu mawar putih. Banyak sekali kenangan yang terbesit di mawar putih itu. Ia kembali teringat dengan seseorang yang sangat ia sayangi.

     Saat ia terdiam di bangku taman, Zahra menyadari ada depasang mata yang memperhatikannya. “Hey siapa disitu?”, teriak Zahra sambil clingak-clinguk. Dan kemudian orang itu muncul. Zahra pun kaget ketika orang itu  tiba-tiba berada tepat di samping bangku yang di dudukinya. Sesosok laki-laki dengan postur badan yang tinggi dan mata teduhnya,  hidung mancungnya, juga rambut yang agak sedikit keriting dan sedikit acak-acakan. “Hey siapa kamu?”, tanya Zahra dengan suaranya lembutnya. “Kamu ngapain disini sendirian?”, cowok itu membalasnya dengan pertanyaan juga. “Hmm… aku cuma ingin melihat bunga-bunga disini”, jawab Zahra. “Kamu anak baru ya? Aku baru lihat kamu”, tanya cowok itu sambil duduk di sebelah Zahra. “Iya, aku anak baru disini”. “Oya kenalin aku Alfianus Sandehang, panggil aja aku Fian. Aku kelas 12”, ujar cowok itu sambil tersenyum seraya menyodorkan tangannya. “Zahra Khoirotun Hisan kelas 10”, Zahra pun membalas senyum itu dan menjabat tangan Fian. Fian menatap mata Zahra, ia merasa mata itu tidak asing baginya. Mata itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia rindukan. “Oh, namanya indah ya kaya…. orangnya”, ujar Fian sambil memandangi Zahra. “Makasih kak”, Zahra pun tersenyum, senyuman manis yang muncul kembali setelah lama menghilang.

           Saat mereka sedang asyik mengobrol, bel sekolah pun berbunyi. Percakapan mereka pun terhenti. “Masuk kelas yuk kak”, Zahra tersenyum dengan bahagia dan mengajak Fian beranjak dari taman itu. Mereka pun berjalan menuju kelas mereka. Dan terpisah di Lab Kimia karena kelas mereka berlawanan arah. “Sampai ketemu lagi ya Ra…”, ujar Fian. Terlihat ada lesung di kedua pipi Fian. Zahra terpaku melihatnya. Fian mirip sekali dengan seseorang yang sangat Zahra rindukan itu.

***
           
         Sudah hampir sebulan Zahra bersekolah disitu, hubungannya makin akrab dengan Fian. Zahra juga menceritakan semua tentang Fian kepada mamanya. Mamanya sangat senang karena anaknya bisa ceria seperti dulu. Fian adalah kapten basket di sekolahnya. Fian juga mahir bermain musik, terutama piano. “Fian, kita mau kemana sih?”, Fian menarik lengan Zahra. “Sudah Ra, kamu ikut aja ya jangan cerewet!”, ujar Fian sambil berjalan menuju suatu tempat yang sudah ia rencanakan. Akhirnya mereka pun sampai di sebuah tempat. Ternyata tempat itu adalah ruang kesenian yang ada di sekolahnya. Disitu ada sebuah piano, Fian membuka dan memainkan piano yang sudah  menjadi sahabatnya itu. Jemarinya menari-nari di atas tuts-tuts piano. Fian menyanyikan lagu “Leaving on the jet plane”. Suara Fian begitu merdu, Zahra merasa nyaman berada di dekat Fian. Zahra pun ikut bernyanyi. Betapa romantisnya saat itu.

          “Ra… semenjak hadirnya kamu disini aku merasa bahagia banget. Kamu itu kayak bidadari yang ngilangin rasa sepi aku selama ini. Dan mata kamu itu ngingetin aku sama adik aku Angel, yang sangat aku sayangi. Kalau dia masih ada, mungkin dia sama besar dan cantik sepertimu”, ujar Fian dengan mata yang berbinar-binar. Adiknya Angel, sudah meninggal karena penyakit livernya satu tahun yang lalu. Saat kepergiannya Fian tidak berada di samping Angel. Saat itu Fian masih berada di dalam pesawat, dan setibanya di Rumah Sakit, Angel sudah pergi untuk selamanya. Memang sebelum meninggal Angel mendonorkan kornea matanya, hal itu tidak di ketahui oleh Fian.

            “Aku…juga ngerasa begitu Fi. Kamu dateng secara tiba-tiba dan ngembaliin ceriaku seperti dulu. Aku sangat berterimakasih sama kamu”, ujar Zahra. Tanpa disadari air mata Zahra mengalir. “Kok kamu nangis Ra? Kenapa?”, Fian kaget dan langsung mengusap air mata Zahra dengan lembut. Kamu itu persis kakak aku yang sangat aku sayangi… tawamu, senyummu, lesung pipi kamu.Batin Zahra.

***
           
               Pagi ini Zahra datang lebih pagi. Ia panik mencari-cari barang yang sangat berharga baginya. “Kamu kenapa Ra… kok kayak orang kebakaran jenggot gitu?”, tiba-tiba Fian muncul di hadapannya. “Aduh Fian kamu bikin kaget aja sih! Oya, kamu liat gelang aku gak?”, tanya Zahra yang masih kalang kabut mencari gelangnya itu. “Maksud kamu ini?”, Fian memperlihatkan gelang yang di temukannya. Gelang dengan rantai silver dan ada bandul mawar putih di sekelilingnya. “Iya ini Fi… kok bisa ada di kamu?”, Zahra pun senang dan langsung mengambil gelang itu. “Kemarin aku temuin di bangku piano itu”. Saat di ruang kesenian kemarin, Zahra tak menyadari gelangnya terjatuh. Gelang itu berharga sekali bagi Zahra. Gelang itu adalah pemberian dari kakaknya.
           
             Sore ini seperti biasa Zahra menunggu Pak Marno sopirnya. Sudah lama ia menunggu di Lobby sekolah tetapi Pak Marno tak kunjung datang. Tiba-tiba handphone Zahra berbunyi, dengan segera ia mengangkatnya. “Ra… mama sama Pak Marno kejebak macet. Kamu gapapa ya pulang sendiri naik taksi. Love you sayang. Assalammualaikum”. “Okay ma… love you too. Waalaikumsalam”, jawab Zahra dan kemudian berjalan menuju gerbang sekolah.

            Setiba di gerbang sekolah ia bertemu dengan Fian. “Hai Ra… kamu gak di jemput? Mau aku antar?”, ujar Fian sambil membuka helm yang warnanya senada dengan motor tiger putihnya. Zahra hanya terdiam, insiden itu kembali terlintas di pikirannya. Zahra berlari meninggalkan Fian begitu saja dan masuk kedalam taksi. Fian kaget melihat Zahra yang tanpa sebab meninggalkannya begitu saja.

***
           
          “Ra… bangun, ada yang nyariin kamu tuh di bawah”, mama membangunkan Zahra yang masih tertidur. “Ha? Siapa ma? Kok pagi-pagi begini!”, Zahra terbangun dari tempat tidurnya. Ia langsung mencuci muka dan memakai kerudungnya. Betapa kagetnya Zahra ketika ia melihat Alfian ada di ruang tamunya. Zahra takut bila Fian ke rumahnya dan bertemu dengan papanya. Tetapi untungnya papa Zahra sedang keluar kota karena ada urusan pekerjaan. “Fian… kok kamu bisa tau rumah aku?”, tanya Zahra seraya duduk di sofa yang berwarna putih gading di ruang tamunya. “Kemarin aku ngikutin kamu dari belakang Ra… Kenapa sih kamu ninggalin aku tiba-tiba?”, tanya Fian. “Oh itu, aku…”, Zahra kebingungan ingin menjawab apa. Suasana pun hening. “Yaudah gapapa kalau kamu gak mau jawab. Kita jalan-jalan yuk!”, ujar Fian dengan suara lembutnya. “Mau kemana Fi?”. “Sudah, ganti baju dulu sana! Aku tunggu”. “Yaudah sebentar ya”, ujar Zahra.

         Sudah 20 menit Fian menunggu. Akhirnya Zahra pun muncul dengan baju terusan selutut berwarna putih kecokelatan dan celana jeans. Juga kerudung yang senada dengan bajunya. Zahra keliatan cantik memakainya. Setelah itu mereka berpamitan dengan mama Zahra.

       “Fian, kita naik apa?”, tanya Zahra. “Naik motor aku lah”. “Hah?”, Zahra kaget mendengarnya. “Kenapa? Kamu takut?”, tanya Fian dengan suara lembutnya. “Aku… Aku trauma naik motor Fi…”, ujar Zahra dengan raut wajah yang ketakutan. “Jangan takut Ra, kan ada aku. Nanti aku pelan-pelan kok naik motornya”, ujar Fian menenangkan Zahra. “Tapi Fi….”, Zahra masih saja trauma dan teringat akan insiden itu. “Nanti aku ajak kamu ke suatu tempat yang indah deh. Percaya aku Fi….”, ujar Fian dengan menatap Zahra dan tersenyum manis. Zahra pun terdiam melihat senyuman Fian itu. Akhirnya Zahra mau melawan traumanya itu. “Pelan-pelan ya Fi…”, Zahra memegang erat baju Fian.

      Akhirnya mereka sampai di suatu tempat. “Sekarang buka mata kamu”, Fian melepaskan tangannya dari mata Zahra. Suasana di tempat itu sangat sejuk dan tenang. Tempat itu di penuhi dengan bunga kesukaan Zahra, ya mawar putih. “Fi, kok kamu tau aku suka mawar putih?”, Zahra heran. “Aku udah tau semuanya ko Ra. Tentang insiden kecelakaan yang buat kamu sering berubah-ubah sikap. Mama kamu yang cerita sama aku. Kenapa kamu ga mau cerita sama aku?”, ujar Fian. “Maafin aku ya Fi... aku belum berani cerita ke siapa-siapa”.

            Setahun yang lalu, Zahra bersama kakaknya Rangga sedang naik motor dari membeli kado untuk mamanya. Saat ingin menyalip sebuah truk, tidak disangka dari arah berlawanan ada sebuah mobil yang sedang melaju kencang. Kecelakaan pun tidak bisa dihindari, kepala Rangga membentur aspal. Dan mata Zahra terkena serepihan kaca. Mereka langsung di larikan ke Rumah Sakit. Rangga meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Sementara Zahra masih terselamatkan. Dan ketika tersadar, Zahra tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap gulita. Dan ia lebih terpuruk lagi ketika mendengar kakak yang sangat ia sayangi meninggal. Zahra juga tidak bisa ikut di hari pemakaman Rangga. Dua bulan kemudian ada seseorang yang mendonorkan kornea matanya kepada Zahra. Ternyata pendonor itu adalah adik Fian.

***
           
          Mereka pun pulang setelah puas menikmati surga bunga. Saat mereka sedang asyik mengobrol di ruang tamu, terdengar suara klakson mobil. Zahra kaget, ternyata itu papanya. “Om, sudah pulang?”, Fian meyodorkan tangannya. Ayah Zahra melirik kalung salip milik Fian, dia hanya mengabaikan salam Fian itu dan berlalu meninggalkannya. Seketika suasana menjadi hening.

           Setelah Fian pulang ayah Zahra sangat marah kepada Zahra. Ayah Zahra tidak suka bila Zahra dekat dengan Alfian. Karena mereka berbeda agama. Zahra terus menangis di pelukan ibunya. Tetapi ayah Zahra sangat keras dan tidak bisa dibantah.

            Semenjak kejadian itu Zahra jatuh sakit. Asma akutnya kambuh dan ia harus di rawat di Rumah Sakit. Zahra hanya bisa terbaring lemas di tempat tidurnya. Tiba-tiba ada yang mengiriminya sebuah kado dan rangkaian bungan mawar putih. Isi kado itu adalah sebuah boneka beruang kecil putih. Dan ada sebuah surat yang berisi :

            “Dear Zahra. Ra… cepet sembuh ya. Saat kamu membaca surat ini pasti aku sudah ada di pesawat. Ayahku memintaku untuk menemaninya di Australia. Jadi, aku juga akan kuliah di sana. Sebenarnya aku ingin sekali menemui kamu Ra. Tapi pasti papa kamu marah. Maaf ya Ra… I’ll miss you Ra. Someday I’ll be back for you. From Alfianus Sandehang.”

            Air mata Zahra terjatuh setelah membaca surat dari Fian. Sepi kembali menyapa hari-hari Zahra. Zahra kembali menjadi anak yang pemurung dan suka menyendiri lagi. Kemana pun ia pergi, boneka beruang putih itu tak pernah lepas dari tangannya. Setiap malam ia selalu memandangi foto dirinya bersama Fian. Ia selalu teringat saat-saat indah bersama Fian dahulu.

***
           
       Dua tahun telah berlalu. Zahra masih berharap agar Fian datang menemuinya, menghapus air matanya dan menemani hari-harinya lagi. Dan hari ini Zahra berniat pergi ke taman bunga tempat  Fian dahulu mengajaknya. Zahra terdiam di tempat duduk mereka dahulu. Zahra termenung memandangi bunga-bunga mawar yang ada di sekelilingnnya. Tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat ia kenali.

            “So kiss me and smile for me. Tell me that you’ll wait for me. Hold me like you never let me go…”

            Fian datang membawa mawar putih dan bernyanyi lagu kesukaan mereka dahulu. “Ra… aku kembali”, mata Fian berkaca-kaca. Di lehernya ada sebuah kalung berbandul tulisan arab “ALLAH”. Fian menjadi seorang muslim. “Fian, kamu…”, Zahra kaget, air matanya menetes. “Ya Ra… aku disini. Aku gak akan ninggalin kamu lagi. Aku akan selalu ada buat kamu Ra…”, Fian memeluk erat Zahra sampai sampai Zahra dapat mendengar detak jantungnya Fian. Zahra juga memeluknya dengan erat seakan tak mau kehilangannya lagi. Mawar putih yang ada di sekeliling mereka pun menjadi saksi cinta mereka berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar